Sunday, 21 February 2016

GUNUNG RAJABASA

 Lampung Selatan memiliki Gunung Rajabasa, satu dari gunung tinggi di Indonesia. Belantaranya sudah sejak lama sering dipakai para pendaki menguji fisik dan nyali mereka. Hari Minggu, 27 Desember kemarin, saya bersama beberapa kawan pencinta alam, mendaki gunung yang menyimpan banyak misteri ini. Kami berangkat dari Sumur Kumbang, desa di kaki Gunung Rajabasa. Kampung ini berjarak 5 kilometer dari Kalianda, ibukota Lampung Selatan dan dihuni warga suku Sunda. Untuk mencapai puncak dibutuhkan waktu pendakian 6 sampai 8 jam dan melewati 4 pos peristirahatan. Selama mendaki hingga Pos 1, dijumpai banyak mata air. Para pendaki selalu memakai air itu untuk bekal berkemah. Airnya jernih dan bersih, bisa langsung diminum tanpa terlebih dulu direbus. Mata-mata air itu selama ini menjadi sumber air bersih bagi warga yang tinggal di kaki Gunung Rajabasa. Sebagai kawasan lindung, Gunung Rajabasa punya banyak fungsi ekologi. Di antaranya pengatur tata air, penstabil iklim, pencegah banjir, pengendali erosi, dan penjaga kesuburan tanah. Jasa lingkungan itu dinikmati warga 4 kecamatan dan 39 desa di Kabupaten Lampung Selatan. Karena itu, kerusakan hutan lindung seluas 4.900 hektare ini pasti berdampak buruk bagi mereka. Berbagai bencana alam dan kemiskinan merupakan ancaman yang sewaktu-waktu hadir. Sebelum mencapai Pos 1, pendaki disarankan berziarah ke makam Syeh Mansyur, yang dikeramatkan. Tokoh dari Sunda ini perintis lahirnya Desa Sumur Kumbang. Selain diminta berziarah ke makam itu, sesepuh desa juga mewanti-wanti pendaki agar tidak menebang pohon. Jalan kaki dari Desa Sumur Kumbang ke Pos 1 memakan waktu sekitar 3 jam. Di kiri kanan jalur pendakian terdapat kebun cokelat, kopi, lada, dan durian, milik warga. Orang yang belum pernah mendaki ke puncak Gunung Rajabasa, jangan coba-coba naik tanpa dipandu warga di sana. Sebab, risiko tersesat sangat besar. Jangan terjebak untuk terus naik mengikuti trek. Di sini banyak jalan yang biasa dilalui warga untuk menuju gubuk di kebun mereka. Salah memilih jalur, maka akan terjebak di jalur buntu sehingga pendaki harus balik lagi. Selain menghabiskan waktu dan tenaga, peluang tersesat juga besar sekali. Sampai di Pos 1, kami membersihkan diri di mata air yang jernih, memasak dan makan siang di sini. Stamina harus dipulihkan setelah berjalan kaki 3 jam karena medan selanjutnya makin berat. Di sini udara belum terlalu dingin karena ketinggiannya baru mencapai 549 mdpl. Menuju Pos 2 jalur cukup jelas. Tetapi trekingnya kian terjal. Banyak jalur yang tertutup batu-batu besar dan pohon tumbang. Kebun warga sudah tidak ada di sini. Semuanya vegetasi hutan yang rapat. Dua jam berjalan, kami sampai di Pos 2. Ia berupa dataran yang cukup untuk mendirikan dua tenda buat berkemah. Di sini kami kembali beristirahat, melemaskan otot paha dan betis. Tak lupa memeriksa tubuh kalau-kalau ada pacet menempel. Maklum, Gunung Rajabasa memang dikenal sebagai gudangnya binatang kecil pengisap darah itu. Beristirahat sekitar 10 menit, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 3 yang membutuhkan waktu sekitar satu jam. Jarak dari Pos 2 ke Pos 3 sesungguhnya pendek, tetapi medannya makin berat. Jalur benar-benar tertutup rapat oleh vegetasi. Di sini udara makin dingin. Maklum saja, ketinggian sudah hampir mencapai 1.000 mdpl. Pohon-pohon semuanya berlumut karena udaranya lembab akibat sinar matahari sulit menembus tajuk-tajuk pohon yang menutup rapat. Jurang di sisi kanan dan kiri membuat pendaki wajib ekstra hati-hati kalau mau selamat. Sementara jalurnya sempit, hanya cukup untuk pijakan kaki. Tanahnya mudah runtuh. Kamipun beberapa kali mesti melompati batang kayu tua dan licin yang roboh merintangi jalur. Sampai Pos 3, kami kembali beristirahat lima menit untuk melemaskan otot. Setelah berjalan kaki sekitar 6 jam 30 menit, paru-paru dan jantung memang sudah bisa berkompromi. Tetapi paha dan betis tentu tidak bisa terus dipaksa. Merasa cukup segar, kami meneruskan perjalanan ke Pos 4, butuh waktu sekitar satu jam. Tetapi, lagi-lagi, jalurnya makin berat. Kami mesti melalui trek di bibir kawah. Tidak ada benda kering di sepanjang perjalanan menuju Pos 4. Tanah, batu, dan pohon, semuanya basah karena udara yang lembab. Sampai Pos 4, perasaan gembira hadir mengganti fisik yang lelah bukan main akibat berjalan kaki hampir 8 jam. Jarak ke puncak sudah dekat, sekitar 20 meter lagi. Tetapi beristirahat tetap dibutuhkan. Sebab, meskipun jarak sudah dekat, untuk naik ke puncak treknya curam dengan kemiringan hampir 90 derajat. Persis pukul 18.00 WIB, sampailah kami ke puncak Gunung Rajabasa. Sesuai GPS (global positioning system) yang kami bawa, ketinggian di sini tercatat 1.294 mdpl. Dari sini, bisa terlihat pemandangan dua sisi pantai. Sedangkan dua sisi lainnya tampak pepohonan yang lebat dan angker. Puncak ini tidak terlalu luas, hanya berupa dataran rumput memanjang, cukup untuk dipasang 3 tenda. Tetapi kami tidak berkemah di sini, melainkan di kawah Gunung Rajabasa. Di sana kawan-kawan yang lebih dulu tiba, sudah mendirikan tenda. Maka, malam itu juga kami menuruni lembah untuk mencapai kawah. Berbekal lampu senter dan tali, kami menuju kawah. Jalur yang licin semakin sulit didaki lantaran gelap. Kawah selebar 500 x 700 meter ini berupa danau berawa yang menjadi bukti Gunung Rajabasa pernah meletus. Tetapi sampai sekarang tidak ada yang tahu persis kapan erupsi itu terjadi. Ada yang melaporkan aktivitas gunung api ini meningkat pada bulan April 1863 dan Mei 1892. Di kawah ini terdapat sebuah batu besar berbentuk persegi empat dengan luas sekitar 2 x 2 meter. Orang-orang menyebutnya Batu Cukup. Disebut demikian karena sebanyak apapun orang duduk di atasnya, selalu cukup. Keunikan batu tersebut sudah saya buktikan. Malam itu, saya dan 20 teman tidur di atas batu itu. Esok paginya saya heran, kok batu sebesar ini bisa untuk tidur 20 orang. Padahal, untuk duduk-duduk delapan orang saja sudah pas-pasan. Wallahualam bissawab! Firman Seponada /firman_seponada Memegang idealisme itu laksana menggenggam bara api. Tak banyak orang mau melakukannya. Sebab, hanya sedikit yang sudi bersusah-susah mencari pelindung telapak agar tak melepuh..... Selengkapnya... IKUTI Share 17 0 0 KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. LABEL konservasi lingkunganhidup hutanlampung jalanjalan wisata TANGGAPI DENGAN ARTIKEL RESPONS : 0 NILAI : isteri Gunung Rajabasa 29 Desember 2009 12:51:00 Diperbarui: 26 Juni 2015 18:43:34 Dibaca : 9,786 Komentar : 17 Nilai : 0 Lampung Selatan memiliki Gunung Rajabasa, satu dari gunung tinggi di Indonesia. Belantaranya sudah sejak lama sering dipakai para pendaki menguji fisik dan nyali mereka. Hari Minggu, 27 Desember kemarin, saya bersama beberapa kawan pencinta alam, mendaki gunung yang menyimpan banyak misteri ini. Kami berangkat dari Sumur Kumbang, desa di kaki Gunung Rajabasa. Kampung ini berjarak 5 kilometer dari Kalianda, ibukota Lampung Selatan dan dihuni warga suku Sunda. Untuk mencapai puncak dibutuhkan waktu pendakian 6 sampai 8 jam dan melewati 4 pos peristirahatan. Selama mendaki hingga Pos 1, dijumpai banyak mata air. Para pendaki selalu memakai air itu untuk bekal berkemah. Airnya jernih dan bersih, bisa langsung diminum tanpa terlebih dulu direbus. Mata-mata air itu selama ini menjadi sumber air bersih bagi warga yang tinggal di kaki Gunung Rajabasa. Sebagai kawasan lindung, Gunung Rajabasa punya banyak fungsi ekologi. Di antaranya pengatur tata air, penstabil iklim, pencegah banjir, pengendali erosi, dan penjaga kesuburan tanah. Jasa lingkungan itu dinikmati warga 4 kecamatan dan 39 desa di Kabupaten Lampung Selatan. Karena itu, kerusakan hutan lindung seluas 4.900 hektare ini pasti berdampak buruk bagi mereka. Berbagai bencana alam dan kemiskinan merupakan ancaman yang sewaktu-waktu hadir. Sebelum mencapai Pos 1, pendaki disarankan berziarah ke makam Syeh Mansyur, yang dikeramatkan. Tokoh dari Sunda ini perintis lahirnya Desa Sumur Kumbang. Selain diminta berziarah ke makam itu, sesepuh desa juga mewanti-wanti pendaki agar tidak menebang pohon. Jalan kaki dari Desa Sumur Kumbang ke Pos 1 memakan waktu sekitar 3 jam. Di kiri kanan jalur pendakian terdapat kebun cokelat, kopi, lada, dan durian, milik warga. Orang yang belum pernah mendaki ke puncak Gunung Rajabasa, jangan coba-coba naik tanpa dipandu warga di sana. Sebab, risiko tersesat sangat besar. Jangan terjebak untuk terus naik mengikuti trek. Di sini banyak jalan yang biasa dilalui warga untuk menuju gubuk di kebun mereka. Salah memilih jalur, maka akan terjebak di jalur buntu sehingga pendaki harus balik lagi. Selain menghabiskan waktu dan tenaga, peluang tersesat juga besar sekali. Sampai di Pos 1, kami membersihkan diri di mata air yang jernih, memasak dan makan siang di sini. Stamina harus dipulihkan setelah berjalan kaki 3 jam karena medan selanjutnya makin berat. Di sini udara belum terlalu dingin karena ketinggiannya baru mencapai 549 mdpl. Menuju Pos 2 jalur cukup jelas. Tetapi trekingnya kian terjal. Banyak jalur yang tertutup batu-batu besar dan pohon tumbang. Kebun warga sudah tidak ada di sini. Semuanya vegetasi hutan yang rapat. Dua jam berjalan, kami sampai di Pos 2. Ia berupa dataran yang cukup untuk mendirikan dua tenda buat berkemah. Di sini kami kembali beristirahat, melemaskan otot paha dan betis. Tak lupa memeriksa tubuh kalau-kalau ada pacet menempel. Maklum, Gunung Rajabasa memang dikenal sebagai gudangnya binatang kecil pengisap darah itu. Beristirahat sekitar 10 menit, kami melanjutkan perjalanan ke Pos 3 yang membutuhkan waktu sekitar satu jam. Jarak dari Pos 2 ke Pos 3 sesungguhnya pendek, tetapi medannya makin berat. Jalur benar-benar tertutup rapat oleh vegetasi. Di sini udara makin dingin. Maklum saja, ketinggian sudah hampir mencapai 1.000 mdpl. Pohon-pohon semuanya berlumut karena udaranya lembab akibat sinar matahari sulit menembus tajuk-tajuk pohon yang menutup rapat. Jurang di sisi kanan dan kiri membuat pendaki wajib ekstra hati-hati kalau mau selamat. Sementara jalurnya sempit, hanya cukup untuk pijakan kaki. Tanahnya mudah runtuh. Kamipun beberapa kali mesti melompati batang kayu tua dan licin yang roboh merintangi jalur. Sampai Pos 3, kami kembali beristirahat lima menit untuk melemaskan otot. Setelah berjalan kaki sekitar 6 jam 30 menit, paru-paru dan jantung memang sudah bisa berkompromi. Tetapi paha dan betis tentu tidak bisa terus dipaksa. Merasa cukup segar, kami meneruskan perjalanan ke Pos 4, butuh waktu sekitar satu jam. Tetapi, lagi-lagi, jalurnya makin berat. Kami mesti melalui trek di bibir kawah. Tidak ada benda kering di sepanjang perjalanan menuju Pos 4. Tanah, batu, dan pohon, semuanya basah karena udara yang lembab. Sampai Pos 4, perasaan gembira hadir mengganti fisik yang lelah bukan main akibat berjalan kaki hampir 8 jam. Jarak ke puncak sudah dekat, sekitar 20 meter lagi. Tetapi beristirahat tetap dibutuhkan. Sebab, meskipun jarak sudah dekat, untuk naik ke puncak treknya curam dengan kemiringan hampir 90 derajat. Persis pukul 18.00 WIB, sampailah kami ke puncak Gunung Rajabasa. Sesuai GPS (global positioning system) yang kami bawa, ketinggian di sini tercatat 1.294 mdpl. Dari sini, bisa terlihat pemandangan dua sisi pantai. Sedangkan dua sisi lainnya tampak pepohonan yang lebat dan angker. Puncak ini tidak terlalu luas, hanya berupa dataran rumput memanjang, cukup untuk dipasang 3 tenda. Tetapi kami tidak berkemah di sini, melainkan di kawah Gunung Rajabasa. Di sana kawan-kawan yang lebih dulu tiba, sudah mendirikan tenda. Maka, malam itu juga kami menuruni lembah untuk mencapai kawah. Berbekal lampu senter dan tali, kami menuju kawah. Jalur yang licin semakin sulit didaki lantaran gelap. Kawah selebar 500 x 700 meter ini berupa danau berawa yang menjadi bukti Gunung Rajabasa pernah meletus. Tetapi sampai sekarang tidak ada yang tahu persis kapan erupsi itu terjadi. Ada yang melaporkan aktivitas gunung api ini meningkat pada bulan April 1863 dan Mei 1892. Di kawah ini terdapat sebuah batu besar berbentuk persegi empat dengan luas sekitar 2 x 2 meter. Orang-orang menyebutnya Batu Cukup. Disebut demikian karena sebanyak apapun orang duduk di atasnya, selalu cukup. Keunikan batu tersebut sudah saya buktikan. Malam itu, saya dan 20 teman tidur di atas batu itu. Esok paginya saya heran, kok batu sebesar ini bisa untuk tidur 20 orang. Padahal, untuk duduk-duduk delapan orang saja sudah pas-pasan. Wallahualam bissawab!
Share:

0 comments:

Post a Comment